Jumat, 23 Desember 2011

Pentingnya Sebuah Kewibawaan dalam Proses Belajar Mengajar

1.1 Latar  Belakang
Kewibawaan dalam pendidikan merupakan salah satu cirri pendidik ketika terjadi interaksi atau hubungan dalam kegiatan belajar mengajar didalam kelas ataupun kegiatan pendidikan lain diluar kelas. Interaksi atau hubungan pendidikan tersebut, biasanya diwarnai oleh adanya aspek pendidikan yang didasari kewibawaan.
Kewibawaan mempunyai peranan penting dalam usaha menentukan dan merumuskan tujuan hakiki dan arti pendidikan. Dalam pendidikan memang terjalin suatu relasi atau hubungan yang berdasarkan kewibawaan tertentu.
Bagi sebagian mahasiswa, mungkin hal-hal tersebut masih belum dapat dipahami sepenuhnya. Maka atas dasar latar belakang atau alasan-alasan itulah,penulis akan mencoba untuk menyampaikan materi tentang Kewibawaan Dalam Pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
1.      Apa definisi kewibawaan ?
2.      Macam-macam kewibawaan ?
3.      Apa saja yang menjadi faktor-faktor penentu kewibawaan pendidik?
4.      Bagaimana cara mempertahankan kewibawaan pendidikan ?
5.      Bagaimana fungsi kewibawaan dalam pendidikan dan mengaplikasinya ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
1        Untuk mengetahui definisi kewibawaan.
2        Untuk mengetahui macam-macam kewibawaan.
3        Untuk mengetahui faktor-faktor penentu kewibawaan pendidik.
4        Untuk mengetahui cara mempertahankan kewibawaan dalam pendidikan.
5        Untuk mengetahui fungsi kewibawaan dalam pendidikan dan mengaplikasinya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kewibawaan
            Kewibawaan atau gezag, adalah suatu daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang, sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia, secara sadar dan suka rela menjadi tunduk dan patuh kepadanya. Jadi barang siapa yang memiliki kewibawaan , akan dipatuhi secara sadar, dengan tidak terpaksa, dan tidak merasa/ diharuskan dan luar, dengan penuh kesadaran, keinsyafan, tunduk, patuh, menuruti  semua yang dikehendaki oleh pemilik kewibawaan itu.
            Anak yang masih muda/kecil, belum mengenal kewibawaan, artinya anak kecil belum dapat tunduk kepada suatu pengaruh atas kesadaran dan kerelaan diri sendiri. Misalnya anak kecil yang yang menuruti perintah ibunya, ini bukan karena si kecil tadi sadar atau insaf akan perlunya menuruti atau mematuhi wibawa dan pengaruh ibunya, tetapi karena terdorong oleh perasaan takut akan muka yang muram dari ibunya atau karena ibunya meningalkan diirnya sehingga dengan begitu anak melakukan segala perintah ibunya. Pada anak kecil belum ada kesadaran akan kepentingan larangan atau anjuran dari si ibu, tetapi karena pigur atau person ibu itu.
            Pengenalan dan pengakuan terhadap wibawa membutuhkan bahasa, sehingga pengenalan dan pengakuan wibawa itu berjalan sejajar dengan pertumbuhannya  bahasa pada anak-anak. Bahasa merupakan tempat pertemuan antara pendidik dan anak didik. Dengan bahasa anak didik dapat mengerti apa arti anjuran dan larangan dari pendidik, sehingga dengan demikian dapatlah dikenal dan diakui berwibawa.
            Apabila orang tua tidak menggunakan kesempatan untuk bertemu dengan anak di dalam bahasa, artinya bisa orang tua tidak pernah memberikan anjuran dan larangan kepada anak, atau orang tua tidak pernah menggunakan wibawa yang ada padanya, maka dapat mengakibatkan anak mempunyai sikap yang tidak dapat didekati, anak akan menjadi asing terhadap kekerasan anak, menjadi tidak dapat lagi dinasehati atau didekati.
            Sebaliknya bila orang tua terlalu banyak menggunakan kesempatan bertemu dengan anak dalam bahasa, terlalu banyak memberi nasehat, ajuran atau larangan, akan memberi akibat yang dapat merugikan dalam pendidikan. Hal ini dapat menjadikan anak didik bersikap ragu dalam segala hal tidak dapat menentukan, jalan mana yang hendak ditempuhnya. Dan dapat pula membuat anak didik menjadi acuh tak acuh, atau bersikap mengelakkan diri, sebagai pernyataan protes, karena anak merasa nasihat atau anjuran dan larangan yang berlebihan atau suatu tuntutan yang sukar untuk dilaksanakannya.
            Menghadapi situasi dimana anak didik menunjukan sikap menentang atau memprotes sebagai suatu peryataan bahwa anak telah menemukan jadi dirinya, telah mempunyai keinginan, telah mempunyai kemampuan sendiri, di mana seakan –akan orang tua kehilangan kewibawaannya, adalah tidak bijaksana bila berlaku keras terhadap anak didik, karena dengan sikap keras hanya akan menghancurkan benih-benih kesadaran akan kewibawaan yang mulai tumbuh pada diri anak.
2.2 Macam-Macam Kewibawaan
Macam –macam kewibawaan
            Ditinjau dari daya mempengaruhi seseorang, maka kewibawaan dapat dibedakan menjadi;
a.      Kewibawaan lahir
Kewibawaan lahir adalah kewibawaan yang timbul karena kesankesan lahiriah seseorang, seperti bentuk tubuh yang tinggi besar, pakaian lengkap dan rapi, tulisan yang bagus, suara yang keras dan jelas, akan menimbulkan kewibawaan lahir.


b.      Kewibawaan batin
Kewibawaan batin adalah kewibawaan yang didukung oleh keadaan batin seseorang seperti
1)      Adanya rasa cinta: kewibawaan itu dapat dimiliki oleh seseorang, apabila hidupnya penuh kecintaan dengan atau kepada seseorang lain.
2)      Adanya rasa demi kamu: demi kamu atau you attitude, adalah sikap yang dapat dilukiskan sebagai suatu tindakan, perintah atau anjuran bukan untuk kepentingan orang yang memerintah, tetapi untuk kepentingan orang yang diperintah, menganjurkan demi orang yang menerima anjuran, melarang juga demi orang yang dilarang. Misalnya ada seorang guru yang memerintahkan anak didiknya belajar dengan kerasa dalam menghadapi ujian, bukan agar dirinya mendapatkan nama karena anak didiknya banyak yang lulus, melainkan agar anak didiknya mendapatkan nilai yang bagus dan mudah untuk meneruskan sokolahnya.
3)      Adanya kelebihan batin: seorang guru yang menguasai bidang setudi yang menjadi tanggung jawabnya, bisa berlaku adil dan obyektif, bijaksana, merupakan contoh-contoh yang dapat menimbulkan kewibawaan batin.
4)      Adanya ketaatanya kepada norma: menunjukkan bahwa dalam tingkahlakunya dia sebagai pendukung norma yang sungguh-sungguh, selalu menepati janji yang pernah dibuat, disiplin, dan hal-hal yang telah di gariskan
Dalam pendidikan, dari dua macam kewibawaan yang ada itu, yang tua maupun guru harus memiliki kewibawaan batin. Walaupun begitu tidak berarti bahwa kewibawaan lahir atau penampilan luar dari pendidik boleh diabaikan, seperti: tulisan di papan tulis rapi, berpakaian rapi, yang semuanya ini merupakan kesan-kesan luar, yang sangat membantu terlaksananya pendidikan, meskipun semua ini saja belum mencukupi.
Pada umunya disepakati bahwa kewibawaan  batin lebih dibutuhkan oleh para pendidik dalam menjalakan tugasnya. Kewibawaan merupakan syarat mutlak dalam pendidikan artinya jika tidak ada kewibawaan ini segala bentuk bimbingan yang diberikan oleh pendidik akan diikuti secara suka rela oleh anak didik. Sebaliknya jika kewibawaan tidak ada, segala bentuk bimbingan dan pendidikan tidak mungkin dituruti oleh anak didik. Sehingga tanpa kewibawaan, pendidik akan kehilangan predikatnya sebagai pendidik. Tetapi ini bukan berarti bahwa pendidik itu harus melaksanakan kewibawaan itu secara ajeg kepada anak didik sepanjang masa, melaikan harus selalu disesuaikan dengan keselarasan bertambahnya kedewasaan anak didik
2.3 Faktor-Faktor Penentu kewibawaan Pendidik
            Kewibawaan tidak semata-mata tertentukan oleh hal-hal yang lahiriah, sebab itu kewibawaan pendidik tidak akan muncul karena diturunkan secara genetika dari orang tuanya. Kewibawaan pendidik juga tidak akan tiba –tiba muncul karena ia memakai pakaian ( baju, mobil, perhiasan,dsb ) yang bagus dan mewah. Sebaliknya, kewibawaan pendidik tidak akan turun atau hilang karena setelah kembali dirumah ia membuka baju seragamnya dsb. Menurut M.J Langeveld ( 1980:49-65) dalam hubunganya dengan anak didik, kewibawaan pendidik akan tertentukan oleh berbagai faktor yaitu
1.      Kasih sayang terhadap anak didik
2.      Kepercayaan bahawa anak akan mampu dewasa
3.      Kedewasaan
4.      Indentifikasi terhadap anak didik
5.      Tanggung jawab pendidikan
2.4 Mempertahankan Kewibawaan Dalam Pendidikan
Pendidik lama kelamaan harus mengurangi kewibawaanya, hal ini berati, bahwa semakin lama anak semakin diberi kesempatan untuk berdiri sendiri. Anak harus diberi kesempatan untuk berdiri sendiri, mengambil keputusan atau tanggung jawab sendiri. Jika tidak demikian akan timbul konflik antara pendidik dan anak didik, sebab anak yang sudah dewasa itu akan merasa diinjak kedewasaanya, merasa dilanggar pribadinya.
a.      Kewibawaan yang dimiliki pendidik terakhir
Pada suatu saat akan mengalami masa-masa krisis, kadang tampak melemah, tampak goyah, maka menjadi  tugas pendidik sendiri untuk tetap menegakkan kewibawaannya yang dimilikinya itu. Agar kewibawaan yang dimiliki oleh penddik tidak goyah, tidak melemah, maka hendaknya pendidik itu selalu bersedia memberikan alasan. Pendidik harus siap dengan alasan yang sudah mudah diteima oleh anak, mengapa pendidik melarang anak didk, mengapa pendidik memberi nasihat begitu, penjelasan hendaknya yang singkat dapat diterima anak dengan jelas.
b.        Bersikap you Attitude
Pendidik selalu harus menunjukan sikap demi kamu, sikap ini tidak perlu ditonjolkan, tetapi harus dengan jelas dan tampak kepada anak, atau mudah diketahui anak. Pendidik menuntut anak didik ini, melarang berbuat sendiri, semuanya demi anak didik sendiri bukan untuk kepentingan pendidik.
c.         Bersikap sabar
Pendidik harus selalu memiliki sikap sabar, memberi tanggapan waktu kepada anak didik untuk mau menerima perintah atau nasihat yang oleh pendidik. Mungkin pendidik harus memberikan nasehatnya berkali-kali kepada seorang anak, pendidik dituntut kesabaranya sungguh-sungguh, tidak boleh lekas putus asa. Putus asa adalah sikap yang salah
d.        Bersikap memberi kebebasan
Semakin bertambahnya umur anak didik, atau semakin dewasa, pendidik hendaknya semakin memberi kebebasan, memberi  kesempatan kepada anak didik, agar belajar sendiri, belajar bertanggung jawab , dan belajar mengambil keputusan, sehingga pada akhirnya anak tidak lagi memerlukan nasihat kewibawaan melainkan anak diberi kebebasan untuk mengikuti  nasehat itu, atau tidak.
Kewibawaan dan anak didik
Apakah yang telah dibicarakan tadi adalah kewibawaan didalam hubungannya dengan pendidik. Pembicaraan ini akan menjadi lengkap, bilamana kita juga bicara tentang kewibawaan dalam kaitanya dengan anak didik. Karena betapapun besarnya kewibawaan  pendidik. Tidak ada guna, bilamana kewibawaan itu sama sekali tidak dihayati oleh anak didiknya. Karena ada kemungkinan anak didik tidak mengakui dan menghayati kewibawaan pendidiknya. Bagi anak kecil yang belum mengenal bahasa, belum dapat menuruti apa yang dikemukakan oleh orang tua dengan bahasa.
Kewibawaan itu menemukan bentuk perlakuan yang hendaknya diikuti serta menghalangi atau menolak yang tidak dikehendakinya. Seandainya hal terakhir ini hanya dapat dilakukan dengan pembuktian atau atas dasar keterkaitan pada pribadi pendidikan ataupun dengan paksaan, maka si anak akan tetap tinggal tak terdidik. sebab itu dapatlah dikatakan bahwa kewibawaan ialah syarat mutlak
Dari manakah anak didik mendapatkan keberanian moril untuk mencoba menjalankan dan menuruti kewibawaan? Mereka mendapatkanya dalam rasa kasih sayang yang menjadi pengikat bagi mereka. Dalam kasih sayang itu anak didik yang tak berdaya menurut kodratnya itu menaruh ( mencurahkan kepercayaanya), yang karena kemurniannya menjadi pendorong dan pemberi semangat bagi pendidik untuk melakukan tugasnya serta memberi kepadanya keyakinan akan kesanggupan diri sendiri.
Anak sudah ada kontak dengan orang  tua tetapi kontak itu bukan melalui bahasa. Tetapi melalui perasaan. Pembentukan tingkah laku anak bukan hanya dilakukan dengan pendidikan, melainkan dengan pembiasaan. Pembiasaan adalah pembentukan tingkah laku pada anak. Dengan usaha menguasai insting anak, misalnya melatih anak supaya bangun pagi-pagi.
Di dalam anti luas, pendidikan itu mencakup tindakan di atas, tetapi dalam arti sempit, pendidikan baru dimulai setelah anak menghayati kewibawaan pendidikan, seperti yang dikatakan Lan-geveld bahwa pendidikan itu baru dapat dimulai apabila anak sudah mengakui atau menghayati kewibawaan orang tua atau pendidikannya, bilamana anak sudah menguasai bahasa. Anak baru dipandang menguasai bahasa apabila anak sudah berumur 3 tahun.
Didalam pendidikan pendahuluan ini, karena anak belum mengenal dan mengakui kewibawaan, maka boleh menggunakan rasa takut, atau ancaman, agar anak didiknya mau menuruti apa yang dikehendaki atau dilarang oleh pendidik.
 Seperti telah dikemukakan bahwa anak kecil belum dapat dikatakan telah menaruh sifat menurut. Yang terjadi dengan meraka itu ialah “ ketularan “. Meraka melakukan sesuatu karena takut akan muka muram ayah atau ibu , yang berarti penjahuan diri oleh ibu atau ayah. Hal demikian menyinggung sesuatu yang amat halus pada si anak, ketergantungannya dan keinginannya akan keselamatan tergangu, sekurang-kurangnya   merasa terancam akan terlepas dari lingkungan kasih sayang orang tua, yang menurut pengalamannya melindungi dirinya selama ini. Oleh karena itu belum adanya penyadaraan relasi kewibawaan, pada si anak karena ia belum masuk untuk penyadaran demikian. Maka pada masa kekanak-kanakan itu pemakaian kekuatan masih dapat diterima pada pendidikan   ( umpamanya menyentik daun telinga si anak, memindahkannya dari tempatnya ketempat yang ditentukan oleh orang tuannya ).
Perkembangan selanjutnya adalah masa protes seperti ketidakpenurutan yang bersifat merengek-rengek, mengundur-ngundurkan, mencari-cari alasan. Masa protes, mula-mula muncul pada umur 5 tahun ( jarang sekali pada umur yang lebih muda, bahkan sering munculnya masa protes tersebut terlambat sampai 1,5 tahun lamanya). Masa protes adalah gejala peralihan akan “kepenurutan yang wajar” walaupun masih bersifat terikat. Hal ini dapat juga dikatakan untuk belajar menurut terlebih dahulu orang harus belajar menentang.
Kalau anak sudah dapat mengakui kewibawaan pendidik, maka dapatlah dimulai pendidikan yang sesungguhnya, anak mulai dapat dikenalkan dengan norma yang sesungguhnya. Anak bukan sekedar harus berbuat yang sesuai dengan norma secara paksa tanpa mengetahui normanya, melainkan norma itu sendirilah yang diperkenalkan kepada anak didik. Kepada anak diperkenalkan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk, dengan contoh, larangan, nasihat, dongeng, teladan dan lain-lainnya.
Agar anak kecil mengikuti norma tertentu, maka pendidikanlah yang harus menjadi perwujudan dan pada norma itu sendiri. Bila pendidik menginginkan anak didiknya bangun pagi-pagi, maka pendidiknya harus punya kebiasaan bangun pagi pula, sebab anak itu sifatnya suka meniru, terlebih-lebih meniru tingkah laku tokoh yang menjadi idolanya, atau siapa yang menjadi pujaannya.
Sifat anak didik menghadapi norma ini juga ternyata terpengaruh hadir tidaknya pendidik. Misalnya pendidik memberi suatu peraturan, siang hari harus tidur. Jika pendidik ada dirumah, maka anak akan tidur siang, tetapi jika pendidik tidak ada dirumah, anak tentu tidak akan tidur dan akan bermain-main. Kejadian atau gejala semacam ini lama kelamaan akan hilang, sesuai dengan bertambahnya umur anak. Semakin dewasa anak, maka subyektivitasnya juga semakin berubah menjadi obyektivitas, artinya anak akan menjalankan dan patuh kepada norma yang diajarkannya, dengan hadir atau tidaknya seorang pendidik.
Sehubungan dengan penerima norma itu, kiranya perlu dipaparkan bagaimana proses penerimaan norma itu oleh anak. Tahap-tahap proses penerimaan norma adalah, sebagai berikut:
a.         Anak menghadapi pendidik sebagai pendukung norma tertentu, yang selalu dilihatnya melaksanakan norma itu. Pada mulanya anak berpikir, tindakan itu adalah baik, karena dilakukan oleh pendidikannya, dan tindakan adalah tidak baik, karena dilarang oleh pendidik.
b.         Anak kemudian akan mengerti bahwa tindakan-tindakan itu atau tingkah laku pendidiknya itu adalah diatur oleh sesuatu yamg disebut norma.
c.         Setelah anak dapat melihat norma terlepas dan sipendukung norma, maka tindakan atau tingkah laku pendidik sebagai pendukung norma, selalu dibandingkan dengan norma yang diketahui anak, juga dengan peraturan atau norma yang dikatakan oleh pendidiknya itu.
d.        Bila ternyata pendidik mempunyai tingkah laku yang cocok dengan norma itu dengan sukarela.
Tetapi bila anak didik tahu bahwa tindakan atau perbuatan pendidik itu cocok atau bahkan bertentangan dengan norma yang dinasihatkan, maka anak didik akan menolaknya, dan tidak akan melaksanakan noma itu.
Dengan demikian. Maka dapat dikatakan bahwa, perkembangan kewibawaan anak didik ditandai dengan tumbuhnya kepercayaan. Dimana hal ini merupakan syarat teknik pergaulan yang juga merupakan “prototype” kewibawaan dalam berbagai lingkungan. Dalam lingkungan pendidikan, kepercayaan yang diberikan oleh pendidik kepada anak didik mempunyai dua arti:
1.    Bahwa keinginan pendidik untuk terus mengikat pribadi anak didik pada dirinya telah dapat diatasi oleh pendidik itu.
2.    Bahwa kepercayaan itu merupakan tempat sumber bagi anak didik untuk tumbuh dan berkembang.
Kepercayaan merupakan sumber bagi anak didik untuk tumbuh dan berkembang. Artinya, anak didik yang mendapat kepercayaan itu harus dapat berdiri sendiri, karena pendidik yakin bahwa ia dapat berdiri sendiri. Kepercayaan itu memberikan dorongan kepada anak didik agar ia berani dan penuh keyakinan dan keinginan berusaha supaya ia menjadi dewasa.
Kedewasaan dapat dikatakan akhir masa pendidikan dalam arti apabila manusia itu telah dianggap menjalankan kewibawaan atas diri dan segala sesuatu yang dipercaya dan disamping itu tetap mengakui serta menurut kepada kewibawaan yang lebih besar dan tinggi. Salah satu contoh tindakan yang esensial bagi seseorang yang akan menjadi memangku kewibawaan yakni memilih teman hidup. Karena dengan pilihan itu seseorang bertanggung jawab atas suatu kehidupan baru dan sekurang-kurangnya orang itu turut harus memilki kewibawaan dihadapan anak, isteri atau suaminya.
2.5 fungsi kewibawaan dalam pendidikan
Pendidikan itu terdapat dalam pergaluan antara orang dewasa dengan anak-anak Sebab pergaulan antara orang dewasa sesamanya, orang menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh-pengaruh pergaulan itu.Demikian pula pergaulan antara anak-anak dengan anak-anak biarpun sering kali seorang anak menguasai dan dituruti oleh anak-anak lainnya tetapi kekuasaan atau kewibawaan yang terdapat pada anak itu tidak bersifat kewibawaan pendidikan, karena kekuasaan itu tidak tertuju kepada tujuan pendidikan.Dalam pergaulan baru terdapat pendidikan jika di dalamnya telah terdapat kepatuhan dari si anak, yaitu bersikap menuruti atau mengikuti wibawa yang ada pada orang lain mau menjalankan suruhannya dengan sadar. Tetapi tidak semua  merupakan pendidikan ada pula pergaulan semacam itu yang mempunyai pengaruh-pengaruh jahat atau pergaulan yang netral saja.

Satu-satunya pengaruh yang dapat dinamakan pendidikan ialah pengaruh yang menujuke kedewasaan si anak untuk menolong si anak menjadi orang yang kelak dapat atau sanggup memenuhi tugas hidupnya dengan berdiri sendiri.Tidak setiap macam tunduk menurut terhadap orang lain (seperti menurut perintah-perintah anak lain) dapat dikatakan tunduk terhadap wibawa pendidikan.

            Bagaimana sikap anak terhadap kewibawaan pendidik? Dalam hal ini Langeveld menjelaskan dengan dua buah kata) Sikap menurut atau mengikut (volagen), yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menuruti yang sebenarnya. Sikap tunduk atau patuh, yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak pada orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa sendiri terikat akan memenuhi perintah itu.Dalam hal yang terakhir inilah tampak fungsi wibawa pendidikan, yaitu membawa si anak ke arah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankannya. (Athiyah Alabrasy, 2001 : 55).
 Kewibawaan dalam Masyarakat dan Kewibawaan dalam Pendidikan agar lebih jelas mengenai apa yang dimaksud dengan kewibawaan pendidikan dan bagaimana melaksanakan kewibawaan itu didalam praktek mendidik anak-anak, perlu kiranya adakan perbandingan antara kewibawaan yang berlaku di dalam masyarakat dengan kewibawaan yang berlaku bagi pendidikan.
1      Kewibawaan dalam Masyarakat
 Dalam masyarakat harus ada wibawa, supaya dapat tercapai maksud masyarakat itu, yaitu: kesejahteraan umum. Di dalam negara (yang berdasar demokrasi) ada 3 badan yang memegang kewibawaan, yaitu badan kekuasaan legisltif, eksekutif dan yudisial.Anggota-anggota masyarakat adalah orang-orang yang telah dewasa, yang berarti bahwa mereka sudah seharusnya mempunyai cukup kesadaran akan keharusan dan faedahnyakewajiban-kewajiban itu mengurangi kebebasan mereka. Jadi mempunyai pengertian tentang norma-norma atau ukuran hidup.

2.  Masyarakat menurut atau patuh kepada pendukung-pendukung kekuasaan pemerintah bukan karena sempurnanya kepribadiannya, tetapi hanya karena orang-orang itu telah mendapat pengangkatannya untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya. Kita menurut kepada seorang bupati; dan sebagai bupati ia berhak mengeluarkan peraturan-peratutan dan melaksanakannya, dengan sendirinya dalam batas-batas kekuasaannya saja.

3 Pemerintah meminta kita semua mentaati segala peraturannya. Bagaimana kebatinan kita (masing-masing orang) yang sebenarnya setuju atau tidak, mengkritik atau tidak pemerintah tidak mengindahkannya, asal kita taat kepada apa yang diperintahkannya.
Jadi kekuasaan pemerintah hanya mengenai perbuatan-perbuatan kita yang lahir; selama perbuatan-perbuatan kita yang lahir ini sesuai denganperaturan-peraturan, kita adalah warga negara yang baik, dan kita telah memenuhi kewajiban kita.

4. Kewibawaan dan pelaksanaan kewibawaan dalam masyarakat tidak menjadi berkurang, melainkan tetap stabil, karena tujuannya ialah hendak mengatur perputaran masyarakat yang baik. Selama kita hidup dalam masyarakat, kita tetap taat di bawahkewibawaannya dan negara tetap akan melaksanakan kewibawaannya di atas kita.

 Kewibawaan dalam Pendidikan

1. Pelaksanaan kewibawaan dalam pendidikan itu harus bersandarkan perwujudan norma-norma dalam diri si pendidik sendiri. Justru karena wibawa itu mempunyai tujuan untuk membawa si anak ke tingkat kedewasaannya, yaitu mengenal dan hidup yang sesuai dengan norma-norma, maka menjadi syaratlah bahwa si pendidik memberi contoh dengan jalan menyesuaikan dirinya dengan norma-norma itu sendiri.Tidak ada seorang pun yang lebih banyak kewibawaannya dari pada mereka yang mewujudkan kewibawaan itu dalam dirinya sendiri.

2.  Dalam pendidikan, pertama-tama yang kita tuju ialah bahwa si anak dengan sepenuh kepercayaannya menyerahkan dirinya kepada pendidiknya (orang tuanya), dan dengan demikian mencapai peryesuaian batin. Bila tidak, kita tidak akan dapat mencapai tingkatan di atas dresur, yang berarti si anak hanya mengerjakan apa yang diperintahkan saja, dan kita tidak dapat mencapai: si anak itu mengenal nilai-nilai, dan dengan keyakinan hidup menyesuaikan diri dengan nilai-nilai itu.

3. Wibawa dan pelaksanaan wibawa dalam masyarakat tetap, akan tetapi dalam pendidikan akan selalu menjadi berkurang, dan akhirnya selesai bila telah tercapai tingkat kedewasaan.Ini tidak berarti bahwa si anak (yang telah dewasa itu) tidak lagiperlu mengakuiadanya kewibawaan; sebaliknya dengan kesukarelaan dan keikhlasan sendirilah si anak mengakui adanya wibawa negara, Tuhan, dan berusaha hidup sesuai dengan kewibawaan itu. Kewibawaan dan identifikasi di atas telah dikatakan bahwa tujuan dari wibawa dalam pendidikan itu ialah, dengan wibawa itu si pendidik hendak berusaha membawa anak itu ke arah kedewasaannya. Ini berarti, secara berangsur-angsur anak dapat mengenal nilai-nilai hidup atau norma-norma (seperti norma-norma kesusilaan, keindahan, ketuhanan dan sebagainya) dan menyesuaikan diri dengan norma-norma itu dalam hidupnya.Syarat mutlak dalam pendidikan ialah adanya kewibawaan pada si pendidik. Tanpa kewibawaan itu, pendidikan tidak akan berhasil baik.Dalam setiap masam kewibawaan terdapatlah suatu identifikasi sebagai dasar. Artinya, dalam melakukan kewibawaan itu si pendidik mempersatukan dirinya dengan anak didik, juga yang dididik mempersatukan dirinya terhadap pendidiknya. Jadi dalam hal ini identifikasi mengandung dua arti :
a. Si pendidik mengindentifikasi dirinya dengan kepentingan dan kebahagiaan si anak. Ia berbuat untuk anak karena anak belum dapat berbuat sendiri; ia memilih untuknya; jadi untuk anaknya itulah ia mengambil tanggung jawab, yang semestinya menjadi tanggung jawab anak itu sendiri. Jadi si pendidik seakan-akan mewakili kata hati didiknya untuk sementara. Si pendidik memilih, mempertimbangkan, dan memutuskan untuk anak didiknya. Hal sedemikian dapat dipertanggung jawabkan dan memang perlu, selama si anak itu sendiri belum dapat memilih, mempertimbangkan dan mengambil keputusan untuk dirinya. Tetapi lambat-laun campur tangan orang tua atau pendidik itu harus makin berkurang. Itulah syarat untuk membuat si anak berdiri sendiri.
b. Si anak mengidentifikasi dirinya terhadap pendidiknya. Identifikasi anak sebagai makhluk yang sedang tumbuh, tentu saja berlain-lainan menurut perkembangan umurnya, menurut pengalamannya.Pada anak dua kemungkinan cara mengidentifikasi itu :

1. Ia menurut dengan sempurna, tidak menentang; perintah dan larangan dilakukan secara pasif saja. Bahayanya ialah, di dalam diri anak itu tidak tumbuh kesadaran akan norma-norma sehingga karena itu ia tidak akan mungkin sampai pada tingkatan penentuan sendiri (mandiri).
2. Karena ikatan dengan sang pemegang-wibawa (pendidik) terlalu kuat-erat sehingga merintangi perkembangan anak itu. Tetapi ikatan yang sangat erat itu dapat juga menimbulkan usaha yang sangat aktif untuk mencapai persamaan dengan pendidiknya: berbuat seperti apa yang diharapkan dari pendidiknya atau si anak ingin menjadi sang pemegang-wibawa itu. Di sini pun masih ada pula bahayanya, yaitu menututnya itu tidak seperti yang kita kehendaki, yakni memperoleh norma-norma bagi diripribadinya.Anak yang menurut dapat memberikan gambaran seakan-akan kita mencapai hasil baik dalam pendidikan kita. Tetapi kita harus ingat, bahwa si anak harus kita didik tidak saja dengan hak, melainkan dengan kwajiban membawa dirinya ke suatu tingkatan untuk makin dapat berdiri sendiri. Jadi hal itu berarti, identifikasi si anak terhadap orang tua atau pendidiknya lambat-laun harus dilepaskan dari sifat perseorangan, dan harus ditujukan kepada norma-normanya. Artinya: si anak harus menunjukkan sifat menurut bukan karena diri si pendidik itu, melainkan karena norma-norma dan nilai-niali dalam pribadi pendidiknya itu; si anak harus ditujukan kepada norma-norma itu.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wibawa adalah gezag, yang terdapat pada seseorang, wibawa itu tidak di milikioleh semua orang tetapi hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Wibawa atau gezag bisa saja ada pada seseorang mungkin melalui tutur katanya, perbuatannya tingkah laku dan ilmu pengetahuannya.
 Orang tua adalah pendidik yang utama mereka adalah pendidikan asli, yang menerima tugas dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mendidik anak-anaknya oleh karena ituorang tua harus mempunyai wibawa terhadap seluruh keluarganya.    . Fungsi kewibawaan dalam pendidikan ialah membuat si anak mendapat nilai-nilai dan norma-norma hidup.. Indentifikasi pada diri pribadi pendidiknya, dengan demikian kemudian ternyata nilai-nilai dan norma-normanya, kelak dia lebih melepaskan diri dari di sipendidiknya dan lebih lagi mewujudkan dirinya kepada nilai-nilai dan norma itu.


DAFTAR PUSTAKA
Sadulloh, Uyoh, dkk. 2007. PEDAGOGIK, Bandung: Cipta Utama.
Syarifudin, tatang ,dkk. 2008.  PEDAGOGIK TEORITIS SISTEMATIS , Bandung: Percikan Ilmu.
Sumber lain




Tidak ada komentar:

Posting Komentar